ECONOMIC ZONE - Ekonom menilai kenaikan pendapatan negara tanpa adanya pemasukan dari dividen BUMN membutuhkan extra effort, tidak cukup hanya andalkan perbaikan coretax dan digitalisasi sistem perpajakan namun perlu inovasi baru.
Direktur Eksekutif Celios Indonesia Bhima Yudhistira berpendapat perlu inovasi baru dalam perluasan basis pajak sekaligus meningkatkan compliancenya.
"Misalnya di sektor SDA kuncinya ada pada pengawasan praktik underinvoicing dan missinvoicing yang terindikasi perbedaan data menyebabkan selisih bea ekspor-impor yang besar," paparnya menanggapi sumber pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 yang tidak lagi bersumber dari dividen BUMN.
Proyeksi pendapatan negara mencapai Rp3.147,7 triliun atau tumbuh 9,8% pada APBN 2026 didorong oleh peningkatan penerimaan pajak serta optimalisasi penerimaan dari kepabeanan dan cukai.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp2.357,7 triliun, yang berarti harus tumbuh sebesar 13,5%. Angka ini dinilai cukup ambisius.
“Untuk penerimaan pajak Rp2.357,7 triliun itu artinya harus tumbuh 13,5%. Itu cukup tinggi dan ambisius,” ungkap Menkeu.
Sementara itu, penerimaan dari kepabeanan dan cukai diperkirakan mencapai Rp334,3 triliun, atau naik 7,7%. Di sisi lain, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) mengalami penurunan sebesar 4,7% menjadi Rp455 triliun, terutama karena tidak lagi diperolehnya dividen BUMN.
Bhima menggambarkan bahwa selama ini penarikan pajak seperti berburu berburu di kebun binatang.
"Berburu di kebun binatang dalam dunia perpajakan menggambarkan pendekatan dengan hanya menyasar wajib pajak yang mudah teridentifikasi, terdokumentasi, dan sudah patuh, seperti pegawai, guru, dosen, karyawan swasta, buruh, perusahaan dan UMKM formal," tegasnya.
Seharusnya mengejar kelompok kaya, korporasi besar, atau entitas, yang menyembunyikan kekayaan dan menghindari pajak melalui skema rumit, seperti transfer pricing atau penggunaan tax haven.
"Analogi “hewan di kebun binatang” mengacu wajib pajak yang sudah “tertangkap” sistem, sementara “hewan liar di hutan” adalah mereka yang berpenghasilan tinggi, triliuner, namun lolos dari radar perpajakan," kata Bhima.
Komentar