ECONOMIC ZONE - BANDUNG - Maraknya pinjaman ilegal yang menyasar pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta masyarakat berpenghasilan rendah menjadi sorotan utama dalam diskusi jurnalis bertajuk "Ayo Ngobrol Uang: Literasi Keuangan dan Akses Pembiayaan Legal bagi Masyarakat."
Diskusi yang diinisasi jaringan AyoBandung.com tersebut menghadirkan sejumlah pakar dari berbagai instansi, termasuk perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Jawa Barat, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Provinsi Jawa Barat, serta akademisi dari Universitas Bina Nusantara (Binus). Puluhan jurnalis Bandung turut berpartisipasi, menunjukkan urgensi topik ini di tengah masyarakat.
Kepala Direktorat Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan Kantor OJK Jawa Barat, Yuzirwan, menekankan bahwa literasi keuangan bukan hanya soal memahami istilah, melainkan juga kemampuan mengelola keuangan dan mengambil keputusan finansial yang bijak. "Yang paling penting dari literasi keuangan bukan sekadar memahami istilah finansial, tetapi juga mencakup kemampuan mengelola pemasukan dan pengeluaran, serta keberanian mengambil keputusan finansial yang bijak. Itu lah pentingnya edukasi dan literasi," ujar Yuzirwan di Bandung, Rabu (2/7/2025).
Yuzirwan mengungkapkan bahwa salah satu masalah terbesar yang dihadapi masyarakat adalah godaan pinjaman online (pinjol) ilegal. Ia menjelaskan perbedaan mendasar antara pinjol legal dan ilegal: pinjol ilegal tidak memiliki izin resmi, tidak terdaftar, dan tidak diawasi oleh OJK. "Karena tidak memiliki izin, OJK tidak bisa masuk memberikan perlindungan kepada konsumen, tidak bisa mengawasi, dan memberikan sanksi kepada fintech bersangkutan. Jatuhnya kalau ada masalah menjadi penipuan dan masuknya jadi ranah pidana di kepolisian," kata Yuzirwan.
Data OJK menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara Indeks Inklusi Keuangan (80,51%) dan Indeks Literasi Keuangan (66,46%), menciptakan celah sebesar 14,05% yang menjadi tantangan besar dalam perlindungan konsumen. Minimnya pemahaman ini membuka pintu bagi modus kejahatan digital yang merugikan masyarakat.
Selain itu, fenomena "Bank Emok" juga kerap disalahpahami, menyamakan praktik kredit berkelompok berizin dengan penyaluran dana tanpa izin, yang semuanya bermuara dari pengaduan konsumen dan temuan di lapangan. "Fenomena dan permasalahan tersebut merupakan yang saat ini banyak muncul dan terjadi di masyarakat yang bersumber dari pengaduan konsumen dan masyarakat ke OJK, serta temuan di lapangan pada saat kegiatan edukasi kepada masyarakat," kata Yuzirwan.
Widyaiswara Ahli Madya Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Provinsi Jawa Barat, Hesti Pangastuti, menyoroti bahwa banyak pelaku UMKM di Jawa Barat masih kesulitan memahami literasi keuangan secara mendalam, terutama dalam memisahkan keuangan bisnis dan rumah tangga. "Terkait masalah pembiayaan UMKM, yang menjadi tantangan atau PR itu mereka belum bisa memisahkan uang bisnis dengan uang rumah tangga," kata Hesti.
Selain itu, pendekatan personal, kontekstual, dan berbasis komunitas melalui program seperti PNM Mekaar juga terbukti efektif. PNM Mekaar tidak hanya menyediakan pembiayaan tanpa agunan, tetapi juga pendampingan mingguan, pencatatan keuangan sederhana, dan penguatan kelompok usaha, memberdayakan ratusan ribu perempuan prasejahtera.
Salah satu nasabah PNM Mekaar cabang Batununggal, Enti Daryati (44), berbagi pengalamannya. "Pertama saya masuk ke PNM Mekaar dengan nilai peminjaman mulai dari Rp2 juta, sekarang sudah Rp10 juta. Alhamdulillah sangat membantu selama saya berjualan dan membantu perekonomian keluarga saya menjadi lebih baik," ungkap Enti.
Ekonom dari Universitas Bina Nusantara (Binus), Dian Kurnianingrum, memaparkan data mengejutkan: sepanjang tahun 2024, 15.162 dari 16.231 aduan yang diterima Satgas PASTI terkait pinjol ilegal. Kelompok usia 26-35 tahun dan 17-25 tahun menjadi pelapor terbanyak. "Data ini menunjukkan setengahnya merupakan generasi muda, seperti milenial dan generasi Z, yang seharusnya menggantikan generasi terdahulu untuk membangun Indonesia, menggerakkan roda perekonomian, justru malah terjerat pinjaman ilegal," terang Dian.
Menutup diskusi, Dian menyarankan Indonesia untuk belajar dari negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan Inggris yang telah menerapkan sistem pinjaman resmi berbunga rendah, daftar pemberi pinjaman legal, sistem pelaporan cepat, dan akses ke nasihat keuangan gratis. Ia menduga bahwa kurangnya sosialisasi mengenai platform legal dibandingkan kampanye gencar pinjol ilegal menjadi salah satu akar masalah
Komentar